• Antara Akad Wakal Bil Ujrah dan Mudharabah Musytarakah

    Merujuk pada fatwa-fatwa terbaru DSN-MUI di tahun 2006 tentang akad-akad asuransi syariah, maka terdapat paling tidak 2 (dua) alternatif akad yang dapat dipakai antara peserta (participant) dengan operator takaful, yaitu:


    1. Mudharabah Musytarakah (Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006)
    2. Wakalah bil Ujrah (Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006).

    Baik Akad Mudharabah Musytarakah (selanjutnya disingkat saja akad MM) maupun Akad Wakalah bil Ujrah (selanjutnya disingkat akad WbU), kedua-duanya memungkinkan kontribusi peserta (tabarru̢۪) dapat diinvestasikan.


    Bedanya, pada akad MM, dana mudharib atau shareholder (mis. modal/equity Takaful) dapat langsung dicampur dengan dana peserta tabarru untuk kemudian diinvestasikan pada instrument-instrumen investasi syariah. Sementara pada akad WbU, dana tabarru̢۪ yang 100% menjadi milik peserta tidak bisa dicampur dengan modal mudharib. Investasinya pun tidak bisa digabung, tetapi masing-masing terpisah.


    Dengan akad WbU, jika terjadi defisit operasional (negative underwriting result) maka dapat diselesaikan dengan cara meminjam modal Pengelola melalui pinjaman kebajikan (Qardhul Hasan). Prinsip ini tampaknya sejalan dengan praktek yang lazim dilakukan perusahaan asuransi dewasa ini karena tidak mungkin menolak suatu pembayaran klaim nasabah akibat premi yang diterima lebih kecil dari jumlah klaim yang terjadi.


    Sementara, jika dipakai akad MM, kerugian yang terjadi akan ditanggung bersama antara Peserta dan Pengelola. Apabila dipakai akad Wakalah bil Ujrah (merujuk draft SPPA-PSASKB) maka operator takaful tidak mengaplikasikan bagi hasil terhadap investasi tabarru maupun surplus dana tabarru, dengan kata lain bahwa kontribusi peserta dari awal sampai akhir periode merupakan hak milik peserta.


    Penanggung hanya boleh mengambil biaya jasa berupa imbalan/fee/ujrah. Hanya masalahnya barangkali adalah berapa % kah ujrah yang masih dinilai pantas dan adil dari sisi syariah, mengingat bahwa dalam fatwa DSN-MUI tidak disinggung nilai maksimum ujrah yang diperbolehkan diambil Pengelola, apakah 10%, 20%, atau 30%.


    Jika nantinya operator akan memakai akad WbU maka isi Klausula Bagi Hasil (Profit Sharing Clause) yang selama ini kita pakai harus dirombak karena terdapat % dana yang harus dimasukkan terlebih dahulu ke Cadangan Dana Tabarru sebelum diberikan kembali ke Peserta (yang tidak mengajukan klaim). Janji bagi hasil pun menurut saya tidak bisa ditentukan di awal karena kita tidak bisa memastikan apakah akan terjadi surplus dana tabarru atau justru defisit. Jika terjadi defisit, maka Peserta pun tidak bisa menuntut apa-apa.

    sumber: pojokasuransi.com